
Jakarta,- Nalanda World Association sukses menyelenggarakan Nalanda International Buddhist Conference secara daring melalui Zoom dan YouTube pada 11 Maret 2025, acara ini diikuti oleh ratusan peserta dari dalam dan luar negeri. Mengangkat tema “Engaged Buddhism: Addressing Global Challenges Through Compassion and Wisdom”, konferensi ini mempertemukan para pemikir, praktisi, akademisi, serta pemuka agama Buddha dari berbagai negara untuk berdiskusi mengenai relevansi Buddhisme dalam menjawab tantangan global masa kini.
Konferensi ini bertujuan untuk memperkuat peran aktif Buddhisme dalam merespons isu-isu sosial, lingkungan, dan kemanusiaan yang semakin kompleks. Dengan semangat kolaboratif lintas bangsa dan tradisi, acara ini mengajak umat Buddha untuk menapaki jalur Buddhisme yang terlibat, yang tidak hanya berfokus pada pencapaian spiritual pribadi, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan dunia.
Dalam pidato kuncinya yang berjudul “Frameworks and Paradigms of Engaged Buddhism”, Rektor Institut Nalanda, Dr. Sutrisno, S.IP., M.Si., menegaskan bahwa Buddhisme tidak boleh menjauh dari penderitaan dunia, melainkan harus menjadi kekuatan transformatif yang aktif. Ia menyebut empat tantangan besar dunia modern yang mendesak untuk direspons: kemiskinan ekstrem, krisis hak asasi manusia, konflik bersenjata, dan perubahan iklim.
“Di era penderitaan planet, relevansi Buddhisme terletak bukan dalam pelarian, tapi dalam respon,” ujarnya. Ia juga memaparkan empat agenda utama keterlibatan Buddhisme, yakni perdamaian dunia, ekonomi dan konsumerisme, ekologi dan pembangunan berkelanjutan, serta keadilan sosial dan HAM. Dalam hal ini, umat Buddha diajak untuk menjalankan peran sebagai Warrior, Teacher, Healer, dan Creator simbolisasi dari kontribusi aktif Buddhis dalam perubahan sosial.
Dr. Lauw Acep melanjutkan dengan mengangkat esensi Engaged Buddhism merupakan manifestasi dari welas asih (karuṇā) dan kebijaksanaan (prajñā) yang aktif. Ia menegaskan pentingnya keseimbangan antara keduanya dalam merespons penderitaan dunia. “Welas asih tanpa kebijaksanaan akan habis terbakar, sedangkan kebijaksanaan tanpa welas asih menjadi dingin dan kering,” tegasnya. Menurutnya, Engaged Buddhism adalah Buddhisme yang “turun dari bantal meditasi ke dunia nyata,” mengikuti jejak para tokoh seperti Thich Nhat Hanh dan Dalai Lama.
Dari Brazil, Ricardo Sasaki, Direktur Nalanda Center for Buddhist Studies, berbagi pengalaman mengembangkan tradisi Nalanda di Amerika Latin. Ia menjelaskan bahwa pendidikan, penerbitan buku, dan retret hutan menjadi bentuk nyata adaptasi Dharma dalam konteks lokal. “Kami menanam benih kebijaksanaan dan welas asih di tanah baru,” ujarnya, sambil menekankan bahwa warisan Nalanda adalah milik semua aliran Buddhis, bukan hanya satu mazhab tertentu.
Sementara itu, Venerable Dr. Sobhita dari Myanmar memaparkan peran konkret Sangha dalam aksi sosial, seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan, dan kegiatan pengentasan kemiskinan. Ia menegaskan bahwa Engaged Buddhism bukanlah konsep baru, tetapi telah menjadi semangat ajaran Buddha sejak awal. Ia juga mengajak para peserta untuk merenungkan kembali 14 pedoman Engaged Buddhism dari Thich Nhat Hanh sebagai panduan praktik modern.

Sebagai penutup, Dr. Naresh Shakya dari Nepal menampilkan peran seni Buddhis sebagai medium welas asih. Ia menyoroti ikonografi Avalokiteśvara dalam seni tradisional Nepal sebagai simbol spiritual yang membangkitkan kesadaran kolektif. “Karya seni bukan hanya untuk dilihat, tetapi untuk dirasakan sebagai ekspresi welas asih dan kebijaksanaan,” katanya.
Konferensi ini menjadi wujud nyata komitmen Nalanda, yang dituangkan melalui Nalanda World Association, sebuah asosiasi yang bertujuan untuk penguatan pendidikan Buddhisme di dunia, dalam mendorong transformasi Buddhisme ke arah yang lebih inklusif, responsif, dan transformatif. Melalui pendekatan Engaged Buddhism, umat Buddha diajak untuk bersikap tanggap, penuh kasih, dan bijaksana dalam menghadapi tantangan global demi terciptanya dunia yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan.